Film Sosok Ketiga dan Relevansinya dengan Budaya Mistis di Jawa Tengah
Ulasan Film Sosok Ketiga menjadi penting karena film ini tidak hanya menyajikan ketegangan horor, tetapi juga merefleksikan realitas sosial yang masih kuat di masyarakat Jawa Tengah. Dirilis pada 22 Juni 2023, film besutan sutradara Dedy Mercy ini mengangkat konflik batin dalam rumah tangga poligami yang dibalut oleh praktik ilmu hitam atau santet.
Kisah dalam film ini mengingatkan masyarakat pada fenomena yang masih sering menjadi perbincangan—teror gaib dalam keluarga, pengaruh santet dalam hubungan rumah tangga, dan peran tokoh adat dalam menyikapi persoalan batin. Tema tersebut membuat film ini tidak hanya menarik untuk ditonton, tetapi juga relevan sebagai bahan refleksi budaya.
Alur Cerita dan Representasi Konflik Spiritual
Film ini berpusat pada kehidupan Yuni, istri kedua dari Anton. Setelah menikah, Yuni tinggal bersama Nuri, istri pertama, di satu rumah. Pada awalnya, hubungan keduanya tampak damai dan harmonis. Namun, seiring waktu, konflik batin mulai muncul, terutama setelah Yuni mengalami gangguan pada kehamilannya.
Dokter tidak menemukan kelainan medis. Tetapi kondisi Yuni semakin melemah. Nuri, yang terlihat mulai terganggu secara emosional, menunjukkan sikap tak biasa. Yuni mulai mengalami teror gaib seperti suara misterius, penampakan, hingga rasa nyeri tanpa sebab yang jelas.
Film ini menggambarkan bagaimana kecemburuan yang tak tersalurkan dapat mewujud dalam bentuk spiritual. Kehadiran Mbok Ginem, seorang tokoh tua yang meyakini Yuni menggunakan pelet terhadap Anton, memperkuat narasi mistik dalam konflik ini. Ini bukan hanya soal kecemburuan, tapi tentang bagaimana budaya melihat solusi spiritual atas konflik manusiawi.
Poligami sebagai Celah Masuknya Konflik Mistis
Dalam masyarakat Jawa, praktik poligami tidak selalu ditentang, tetapi kerap melahirkan ketegangan sosial di dalam keluarga. Istri pertama sering merasa hak-haknya terabaikan. Di film ini, Nuri menanggung luka batin yang tak tersuarakan secara verbal.
Dalam budaya mistis Jawa, perasaan terpendam bisa menjadi “pintu masuk” bagi energi negatif. Ilmu santet atau guna-guna diyakini muncul dari niat yang dipicu rasa sakit hati, iri, atau dendam. Film Sosok Ketiga memvisualisasikan kepercayaan tersebut secara gamblang.
Sang istri pertama yang tersisih secara emosional tampak terlibat dalam aktivitas misterius yang menyiratkan praktik ilmu hitam. Namun, film tidak mengarahkan penonton untuk menyimpulkan secara pasti. Justru, ia membiarkan ruang tafsir bagi penonton untuk menilai, apakah teror itu nyata atau imajinasi dari luka batin yang membusuk.
Budaya Mistis Jawa Tengah dalam Perspektif Visual dan Naratif
Film ini membungkus horornya dengan pendekatan budaya lokal yang kuat. Setting rumah bergaya tradisional Jawa, suasana malam yang suram, dan peran tokoh tua sebagai penjaga tradisi spiritual menjadi bagian penting yang tak bisa diabaikan. Tidak seperti horor modern yang mengandalkan CGI atau visual berlebihan, Sosok Ketiga justru menekankan atmosfer kultural.
Dialog antar tokoh menggunakan dialek dan idiom khas pedesaan. Dalam adegan tertentu, ditampilkan praktik semacam selamatan, pemakaian dupa, dan pembacaan mantra yang biasa ditemukan dalam ritual pengusiran roh jahat. Ini menjadi pengingat bahwa dalam budaya Jawa, mistis dan spiritual bukan hanya hiburan, tetapi bagian dari keseharian.
Relevansi Film Terhadap Kepercayaan Lokal di Jawa Tengah
Budaya mistis di Jawa Tengah tidak terlepas dari kepercayaan bahwa kehidupan manusia tidak sepenuhnya dikendalikan oleh logika. Santet, pelet, teluh, dan guna-guna adalah istilah yang umum dikenal di berbagai daerah seperti Wonosobo, Klaten, Magelang, hingga Salatiga.
Sebagian masyarakat masih mempercayai dukun sebagai perantara spiritual. Ketika terjadi konflik dalam keluarga, tak jarang pihak yang merasa teraniaya menempuh jalan batin untuk menyelesaikan masalahnya. Film ini memotret kenyataan tersebut tanpa terkesan menggurui atau mengejek kepercayaan lokal.
Tokoh Bude Harni dalam film menggambarkan arketipe masyarakat tua yang menolak pernikahan Yuni dan Anton karena diyakini tidak sesuai tatanan adat. Ia percaya bahwa kehidupan rumah tangga harus dijaga dari “ketidakseimbangan spiritual”. Di sinilah letak kekuatan film ini—ia menggambarkan kepercayaan bukan sebagai irasionalitas, tetapi sebagai sistem nilai yang hidup dan dihormati.
Refleksi Masyarakat Salatiga dan Sekitarnya
Warga Salatiga yang berada di kawasan perbatasan budaya Jawa dan kota modern seperti Semarang sangat akrab dengan narasi-narasi gaib. Meskipun kota ini tumbuh dengan masyarakat urban, banyak warga yang berasal dari keluarga dengan latar tradisi mistis yang kental.
Film horor lokal seperti Sosok Ketiga bisa menjadi bahan diskusi penting di komunitas budaya. Cerita film ini terasa hidup karena merepresentasikan kejadian yang dianggap lumrah di desa-desa sekitar Salatiga. Apalagi bila ditayangkan di bioskop Salatiga, film ini dapat menjadi jembatan antara hiburan dan refleksi budaya.
Sebagai tontonan akhir pekan, film ini cocok bagi warga yang ingin memahami dimensi spiritual yang masih hidup di tengah modernitas. Tak hanya sebagai rekomendasi film horor untuk warga Salatiga, tapi juga sebagai pengingat akan sistem nilai yang belum sepenuhnya hilang.
Mengapa Film Ini Layak Ditonton?
Walau tidak sempurna secara teknis—jumpscare-nya tidak kuat, makeup berlebihan, dan dialog repetitif—film ini kuat dalam konten naratif dan budaya. Penonton diajak melihat bagaimana budaya mistis bukan sekadar cerita seram, tetapi bagian dari identitas.
Penonton yang mencari film santet dengan konteks lokal akan menemukan sesuatu yang autentik. Penonton yang penasaran dengan kepercayaan masyarakat Jawa akan memperoleh gambaran sosial-budaya yang utuh. Sementara mereka yang mengikuti perkembangan film horor Indonesia terbaru bisa melihat bahwa genre ini mulai kembali mengakar pada budaya asli.
Film Sosok Ketiga bukan hanya tentang hantu atau teror. Ia adalah perwujudan dari dinamika sosial, konflik emosional, dan sistem kepercayaan yang tumbuh di tengah masyarakat Jawa. Dengan memadukan isu poligami dan kekuatan gaib, film ini menyampaikan kritik sosial sekaligus penghormatan terhadap budaya.
Bagi penonton yang hidup atau berasal dari Jawa Tengah, cerita dalam film ini terasa dekat dan mungkin terasa nyata. Film ini menjadi cermin sosial yang menyorot bahwa rasa sakit hati, kecemburuan, dan keputusasaan bisa mengambil bentuk yang tidak kasat mata.